Daftar Blog Saya

Jumat, 30 September 2016

Sang Batak : Saragi Dasalak



Kisah ini saya dengar dari sahabat saya yang merupakan seorang batak, ia memang satu tempat kelahiran dengan saya jauh dari tanah kelahiran orang tuanya. Marganya Saragi Dasalak, mungkin beberapa orang beranggapan bahwa ia menggunakan kedua marga orang tuanya, yaitu Saragi marga bapaknya dan Dasalak marga mamaknya atau sebaliknya. Saya pun sempat beranggapan seperti itu. Namun ternyata anggapan itu salah, Saragi Dasalak merupakan satu marga yang tidak terpisah, yaitu marga bapaknya.
Saya pun bertanya kepadanya mengapa marganya dua nama, karena baru kali ini saya melihat seorang batak bermarga satu tetapi dua kata. Karena saya juga memiliki beberapa teman yang juga seorang batak namun hanya menggunakan satu nama marga. Dia pun mulai menceritakannya.
____
Jadi begini ceritanya, Dasalak merupakan marga yang hilang. Sebenarnya dahulu keturunan Saragi itu banyak sekali dan para keturunan lelaki dari keluarga saragi sering bermain di hutan pada waktu kecil, namun ada salah satu dari mereka yang hilang di hutan diduga tersesat.
Seluruh penduduk kampung pun gempar lalu mencari keturunan Saragi yang hilang itu, semua marga berkumpul dan bersatu untuk mencarinya kedalam hutan. Berhari-hari penduduk kampung menelusuri hutan namun tidak membuahkan hasil. Banyak pula penduduk kampung yang beranggapan keturunan Saragih kecil ini telah tewas dimakan hewan buas. Keluarga Saragi pun sangat terpukul atas kejadian itu.
 Waktu terus berlalu,tahun demi tahun terus terganti setiap hari kehilangan keturunan Saragi kecil itu selalu diperingati dengan upacara adat dengan harapan dia akan kembali tetapi hal itu mustahil. Para saudara-saudara teman bermain keturunan Saragi yang hilang itu pun kini telah beranjak dewasa mereka semua menyesali akan hari itu, andai waktu dapat diulang mungkin siang itu tak akan mengajak saudara terkecilnya bermain ke hutan.
Telah banyak penduduk kampung yang mulai lupa akan peristiwa ini, ada salah satu penduduk kampung yang berasal dari marga yang berbeda sedang mencari kayu di hutan dan dia bertemu dengan seorang pemuda tampan namun pemuda itu sangat asing di mata penduduk itu.
Seorang penduduk kampung ini menyapa pemuda itu menggunakan bahasa karo, jika memang pemuda ini bukan keturunan marga batak maka tidak akan mengerti bahasa itu, tetapi sang pemuda memahami dengan jelas akan bahasa itu dan membalas sapaannya. Penduduk ini pun heran dia tak mengenali pemuda itu tetapi dia bisa berbahasa karo.
Diajaklah pemuda itu ke kampung karena penduduk desa itu beranggapan bahwa pemuda ini adalah saudara batak. Setelah tibanya di kampung banyak yang bertanya pada penduduk yang membawa pemuda itu siapa yang dia bawa. Penduduk yang membawanya pun tak tahu siapa pemuda itu. seorang tetua adat pun bertanya kepada pemuda itu siapa namanya dan apa marganya namun pemuda itu tidak dapat menjawab, tetapi dia fasih berbahasa karo. Tetua adat pun bertanya kepada semua tetua marga namun tidak ada yang merasa punya saudara atau keturunan dia. Namun karena dia dianggap bagian dari batak maka tetua adat memberinya sebutan Dasalak yang artinya sendiri, semenjak itu penduduk kampung memanggilnya dengan nama Dasalak.
Dasalak pun hidup dengan baik dalam bermasyarakat dan banyak penduduk yang mulai mengenalnya, hingga tiba pada saat peringatan upacara hari kehilangan keluarga Saragi diperingati untuk kesekian kalinya, Dasalak pun bertanya kepada tetua adat siapa yang diperingati ini. tetua adat pun menceritakan semua kejadiannya pada Dasalak dan ia pun mulai mengerti.
Para penduduk kampung semua hadir pada upacara itu tak terkecuali Dasalak, namun mata salah seorang keturunan Saragi mulai tetuju kepada Dasalak ia seperti tidak asing dengan Dasalak seakan telah lama mengenalnya.
“Dari mana asal kau ?”
“Dari hutan Bang.”
Mereka berdua pun terdiam sejenak, salah seorang keturunan Saragi ini pun langsung mendekati Dasalak dan menyibakkan bajunya. Ternyata benar dugaanya bahwa terdapat tanda lahir di punggungnya.
Dia pun terbelalak langsung memeluk Dasalak,,,
“kau adalah adikku”.
Penduduk kampung, tetua adat, dan tetua marga Saragi pun baru menyadarinya  bahwa Dasalak merupakan keturunan Saragi kecil dulu yang hilang di hutan bertahun-tahun lalu.
____

Jadi begitulah kisahnya, semenjak itu keturunan dari Dasalak juga menggunakan nama Saragi pada marganya karena Dasalak sebenarnya adalah keturunan dari Saragi juga, namun karena sebuah peristiwa yang tidak dikehendaki dan harus dikenang sebagai penghormatan kepada leluhurnya sehingga kedua nama itu menjadi satu marga, hal inilah yang membuat marga Saragi Dasalak masih digunakan hingga saat ini. Itulah alasanya kenapa nama sahabat saya ini menggunakan satu marga namun dua kata marganya.

Jumat, 19 Agustus 2016

Keberangkatan Beliau



 Keheningan desa ini terpecah dengan deru mesin-mesin mobil militer yang melintas dan terparkir memenuhi jalan desa serta halaman rumah yang tak begitu luas milik tetangga, karangan bunga pun tesusun rapi pada pelataran rumah no.32 itu. Terlihat sebuah nama salah seorang anggota militer yang terpampang di kaca depan rumah, ternyata beliau telah tiada. 

            Seragam  dengan pangkat, sepatu mengilap, foto keluarga dan sepucuk senjata api tergeletak begitu saja di sana, terlihat seorang istri dengan tiga orang anak meratap sendu memandang sosok ayah terbujur kaku pada ruang keluarga. barisan orang bertubuh tegap dengan seragam pun memenuhi pelataran rumah itu bersiap menghantarkan keberangkatan beliau.

           Semua yang datang  tak bisa redakan gundah bagi keluarga ini, terdengar lantunan syair Tuhan yang keluar dari lisan seorang pengemuka agama pada rumah ibadah di persimpangan jalan yang terdengar menusuk kedalam gendang telinga, di sudut sana banyak orang merasa kehilangan di sudut lainnya bertanya sebab apa terjadi ajal.

         Terlihat sorot mata tajam dari kejauhan yang membuatku temenung dalam lamunan, terhanyut dalam ingatan hingga membuatku tersungkur dalam hayalan. Merdu kicauan burung membangunkanku dari ketidak sadaran.

           Suara tangis terdengar dari balik mobil, seorang ibu yang lama meratapi sosok tubuh suaminya. Mata para tetangga menjadi saksi atas ratapan kesedihan keluarga anggota militer yang dahulunya pastilah gagah, tegap dan perkasa namun saat ini telah terkulai tanpa daya. Ribuan jerit di depan mataku buyarkan mimpi sementara anak-anak beliau.

           Alunan nama Tuhan sesekali terdengar dari lisan-lisan pelayat, sebaskom bunga dengan beras kuning bertaburan turut melengkapi ratapan mereka, kesedihan itu mengiringi mereka lalu pergi tanpa ragu sebagai lambang duka untuk para pengabdi. 

 Tepat beberapa hari sebelum kemerdekaan RI ke-71, Tugasmu telah berakhir Pak..!!!

Selasa, 09 Agustus 2016

Sudut Berlakang Rumah



Sedari tadi aku habiskan waktuku untuk mengamati dari kejauhan tingkah laku ayam-ayam milik bapak. Tak ada yang istimewa dari tingkah laku ayam itu, sama seperti ayam-ayam milik tetangga lainnya. Entah hal apa yang membuatku betah berlama-lama memandangi ayam-ayam ini. Ku rasa aku mulai mencintainya. 
Hampir sebulan aku pergi kesana-kemari mencari pekerjaan namun belum menemukan yang cocok. Bukan aku bermaksud pilih-pilih pekerjaan namun aku harus pastikan aku menguasai jenis pekerjaan itu, mungkin ini yang membuat aku hingga saat ini masih menganggur dan berdiam diri di rumah.
Aku pun mulai masa bodoh akan hal ini, lebih baik aku lihat sekali lagi tingkah laku keseharian ayam-ayam bapak, ayam-ayam ini hanya punya paruh yang tak tajam dan kaki dengan ceker yang tak kokoh apalagi sayap lebar untuk terbang melayang seperti elang namun mereka bisa terus hidup lalu kembali kekandang pada sore hari dengan keadaan kenyang untuk tidur malam yang nyenyak.
Bapak tak pulang hari ini, pekerjaannya menjadi buruh tambang mengharuskannya meninggalkan mentari keluarga hari ini, entah hanya hari ini sampai lusa atau minggu depan yang jelas bapak akan pulang membawa uang hasil panasnya terik tambang yang katanya ada tambahan tunjangan untuk hari raya kali ini. Tentu tanpa gentar beliau menantang peluhnya untuk terus keluar demi penghasilan yang lebih besar.
Beberapa minggu telah berlalu namun tak ada satupun pekerjaan yang aku dapatkan untuk membantu menghidupkan nyalanya api dapur. Sudut belakang rumah seperti menjadi tempat favorit mamak, dimana sedari tadi aku mengamati orang yang paling aku sayangi ini sedang sibuk melakukan sesuatu hal yang berarti. Tanpa henti tangannya melakukan hal-hal yang membuatku terkesan, jemari mungilnya telah memberikan kesempatan hidup bagi benih-benih tanaman kebun yang sejak dua minggu lalu telah ditabur, ini masa transisi dimana biji berubah menjadi sebuah tanaman yang kelak akan menopang perut-perut lapar ini.
Aku mengambil seember air lalu aku siramkan pada benih-benih milik mamak yang baru dua minggu tumbuh itu. Ku ambil segepok polibag di gudang kucoba gemburkan tanah dengan sedikit campuran pupuk kandang kotoran ayam milik bapak, akupun melihat hakikat ilmu hidup dalam menghijaukan sudut belang rumah.
Mungkin sekilas seperti ini cara ayam mengenyangkan perutnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Minggu, 03 Juli 2016

Satu Rasa Sambung Tembaga



Lebaran hampir tiba akhirnya rencana buka puasa bareng teman-teman STM terlaksana juga, memang sih agak ribet ngumpulin teman-teman yang udah pada punya kesibukan masing-masing tapi ya terbukti juga solidaritas kelas LISTRIK 1 masih kental terlihat meski tiga tahun telah lulus dan berlalu.

Perlu waktu lebih dari dua minggu menskedulkan acara ini, namun sepertinya waktu sepanjang itu masih saja terasa singkat untuk mengadakan rencana yang sedemikian spesial ini. Seperti biasa dalam diskusi selalu penuh candaan tawa konyol dan liku-liku basa basi, hal ini dilakuakan tak lain hanya untuk menggabungkan puluhan kepala ini menjadi satu tujuan yang sama, meski tidak persis.

Mungkin bagi sebagian orang moment berkumpul semacam ini hal yang biasa saja, namun bila dirasakan jarang banget bisa ngumpul bareng teman-teman lagi yang dahulunya sekelas namun sekarang udah pada berpisah tempat kuliah, kerjaan tempat tinggal serta udah gak semudah waktu masih jaman sekolah dahulu lah pokoknya.

Meski begitu nyatanya teman-teman yang berada jauh dari pusat kota samarinda pun hadir, teman-teman yang udah pada kerja pun dengan suka cita rela menjadi donatur yang secara cuma-cuma rela ngeluarin sebagian pendapatannya untuk ngumpulin teman-teman STM lainnya, salut banget dengan mereka.

Rerto & Café Sambal Pedas Jalan Kadrie Oening Samarinda menjadi lokasi pertemuan kali ini, sebagai acara tahunan bukan hanya sebagai ajang hura-hura namun tentu saja hal ini digunakan sebagai ajang silahturahmi sambung rasa yang udang lama tidak berjumpa, bukan hanya yang melaksanakan ibadah puasa namun teman-teman yang tidak melaksanakan puasa pun tetap bersedia nyempatkan hadir ke tempat ini hanya demi bisa ngumpul bareng teman-teman lagi yang dahulunya susah senang selalu satu kelas ini.

Namun ternyata keadaan tidak berjalan semulus yang direncanakan, satu jam sebelum buka puasa kota samarinda dilanda hujan lebat, kebayangkan gimana perjuangan untuk datang ke acara bukber tahunan kali ini. namun sekali lagi makin terlihat kekompakan para alumnus LISTRIK 1 ini dengan pakaian yang sebagaian basah kuyup karena lebatnya hujan namun tidak menyurutkan antusias teman-teman untuk tetap datang, dan dengan gaya khas pencilakan anak STM meramaikan lokasi tempat makan ini. Serasa seperti di rumah mamak sendiri, Heheheee…



Yah semoga aja masih bisa bertemu ditahun yang akan datang dalam keadaan yang sehat dan menyehatkan bagi teman-teman semua, kesombongan bukanlah tonggak kegagalan jika kebersamaan terus tersambung bagaikan kabel tembaga yang pernah kalian sambung pada masa rasa penuh asa yang udah kita lalui bersama dahulunya. Semoga yang tidak bisa datang kali ini, tahun depan bisa ikut ngumpul bareng lagi, dan semoga yang belum dapat kerja tahun depan undah kerja, yang kuliah semoga udah kerja, yang sekarang udah kerja tahun depan kerjanya lebih baik lagi yah semoga, semoga, semoga yang terbaiklah buat teman-teman semua. yah kerja, kerja, kerjalah pokoknya. 

Oiya yang tahun depan mau resepsi undangannya ditunggu yaa… Hehehe…

Jumat, 24 Juni 2016

Embun Pagi Fisipol




Riuh hiruk-pikuk di pelataran kampus penuh hamparan manusia tak terhitung jumlahnya memenuhi pandanganku yang sedari tadi mengamati tingkah lakumu dari kejauhan, mulai dari hal kecil seperti gerakan jemari lentikmu hingga raut wajah yang mulai kusam karena kau mulai sinis memandangku.

Masihkah kau murung melihat kerumunan mahasiswa kampus universitas terbesar di Kalimantan Timur ini. Kelalaian apa hingga kau begitu murka terhadapku, aku bahkan tak mengerti kenapa kau lalu membenciku, sayang…!!! Apa karena ‘Psikologi’ jurusan besar yang tak pernah kau dambakan dalam kehadiranku.
 
            Mungkin karena sebuah penantian atau hanya hayalanku yang seakan kian hari kian berkembang merasakan kehadiranmu yang sangat aku harapkan. Aku bahkan heran terhadapmu, kenapa kau selalu terselip dalam otakku yang tak berguna ini. Apa mungkin karena kau sebuah impian atau bahkan kau sebuah masa depan yang mulai berawal dari fakultas ilmu sosial dan politik ini.

Tak banyak yang mengenalku atau bahkan yang tahu dari mana asalku. Pinggiran, iya pinggiran…!!! Mungkin memang benar aku dari pinggiran yang kian hari kian menepi tersisih dan hanyut dalam pikiran yang tak simetris ini. Jangankan untuk mengerti kepribadian dalam dirimu, untuk mengenal siapa diriku pun aku tak pernah tahu sayang. Aku bukan dukun yang kau anggap selalu peka dalam penantianmu yang panjang.

Kejiwaanku mungkin telah kau telan tak tersisa hingga aku hanya bisa terombang ambing dalam kemunafikan diri. Kau bukanlah kekasih, kau bukanlah teman, kau bukanlah orang yang pernah aku kenal sebelumnya. aku juga tak tahu dengan sebutan apa aku memanggilmu, Pie…!!! Iya aku menyebutmu dengan ‘Pie’ semoga kau tak marah dengan sebutan itu.

Hari demi hari dari balik jendela sebuah rungan yang tak cukup lebar aku mengamatimu dengan syahdu, berlahan aku mulai melukiskan raut matamu pada sehelai kertas  yang terlihat jelas bayangan wajahku meski dari kejauhan. Aku tak pernah mencoba mengatakan apapun padamu. Aku telah cukup bahagia bisa melihat matamu yang indah bersanding dengan jernihnya tetesan embun pagi.

Rasa ini aku umbar dengan senyuman lebar, aku merenung pada saat malam datang, aku ciptakan sebuah alur yang lagi-lagi tak ku temukan kejelasan cerita kita. Apakah ada sebuah jalan yang  nantinya akan menghantarkan kita pada sampan kecil yang bisa kita gunakan untuk mengunjungi purnama. 

Pie…!!! Apakah tanganku yang mungil ini suatu saat nanti mampu menggenggam erat tanganmu dan tak akan melapaskannya atau punggungku yang tak kokoh ini mampu menopang kebahagiaanmu dalam kehidupan mendatang. Tak pernahku lontarkan pujian manis pada dirimu yang ayu atau pada kerudung hitammu yang menutup bagian terindah tubuhmu.

Aku tak tahu kenapa sekilas kau menatap tajam mataku, aku membuat dugaan-dugaan hingga membuat otakku yang berkarat ini bergerak untuk memikirkan sesuatu tentang dirimu karena semula aku tak pernah berfikir tentang kamu sayang. Apa lagi cinta, kau pikir aku tahu cinta, yang aku tahu hanyalah bayangan matamu yang tegambar jelas setiap pagi bersanding dengan embun pada setangkai bunga mawar yang kian menghitam pada sebuah pot bunga di pinggir parkiran.

Kau berlahan mulai menerbangkanku, kau rangkul aku dalam dekapan mesra yang membuatku terngiang-ngiang penuh dengan ketidakpercayaan jika kau akan melakukan hal ini padaku sayang, Pie kau telah membawaku melayang jauh dan jauh sekali hingga hanya terlihat deretan awan putih bersih yang menghampar pada langit Universitas Mulawarman ini.

Tetapi entah kenapa kau mulai melepaskan dekapanmu, kau maki aku, kau ciptakan sebuah kebencian yang mendalam paada dirimu seakan kau telah jadikan aku buruan terbesarmu setelah kau tahu jika aku mahasiswa fisipol unmul. Entah ada apa dengan latar belakang ini, apakah telah ada cerita lain yang kau rangkai dalam kehidupanmu sebelumnya sayang sehingga kau luapkan semua kemarahanmu padaku. Ku terima dengan ikhlas semua perlakuanmu, tak ada dendam yang tertinggal bahkan wajahku yang datar ini mulai bisa menumbuhkan senyuman yang berarti untukmu.

Mungkin ini alur yang berlahan mulai menemukan kejelasan hingga timbul sebuah gejolak dalam diriku bahwa cinta itu tak perlu pengorbanan sayang, dia tidak akan pergi dan tidak akan sembunyi. Jika setiap cinta memandang latar belakang untuk apa kau menuntut kemurnian rasa sayang dari seseorang yang konon katanya kau sangat mencintainya. 

Salahkah aku mengenalmu dengan sebutan Pie, kau agungkan aku dalam setiap syair lagumu yang indah meski tak seorang pun selain aku yang tahu akan syair-syairmu itu sayang. Ini bukanlah sebuah nasehat untukmu. Ini hanyalah cerminan kehidupan seorang insan yang tak jelas di mana kedudukannya saat ini hingga kebencian itu mulai tumbuh dan mengakar dalam dirimu Pie.

Aku bukanlah apa-apa dengan latar belakang cerita ini, aku hanya bayangan keraguan yang ada dalam setiap jejak langkah yang berlahan mulai kau tinggalkan, mungkin jejak langkah itu mulai tersapu rintikan hujan di bulan juni ini hingga tak segan kau menutup diri dariku yang jelas-jalas bukan orang yang tahu diri ini. Berkeringat dan gemetar tubuhku terbayang sikap dinginmu aku tutup mulutku, ku butakan mataku, ku tulikan telingaku namun rasa ini benar-benar membuatku terlupa siapa aku yang sesungguhnya.

Sejenak ku helah nafas panjang, melihat sikapmu yang seperti itu membuatku semakin berfikir, ku sandarkan kepalaku pada meja kelas, ku pejamkan mataku dan hanya suara kipas angin yang dapat aku dengar menemani hatiku. Lewati segala keterasingan aku kembali mengingat bahwa kita dahulu pernah saling merajut hari bersama. Berat sekali aku menengadahkan kepalaku ke atas hingga tanpa sadar aku terpejam dalam ruang kelas yang kosong sedari tadi.

Gubrak....cittttt…!!!! Aku pun seketika terbangun ketika mini bus ini menabrak jalan yang berlubang. Sial mini bus travel berlogo hewan liar berkantung ini kencang sekali hingga mengabaikan kenyamanan penumpangnya yang sedang nikmat tertidur. Ketika ku raba saku belakang ternyata dompetku hilang, dimanakah dompetku ?

Astaga mimpi apa aku tadi, sayang sekali sopir ini tak mengerti perasaan seorang pemuda sepertiku, aku rindu liburan semester, penat sekali dengan tugas-tugas kuliah, aku butuh liburan pak sopir, kembalikan mimpiku yang tadi. Siapa itu Pie ?

Benar-benar hidup ini perlu keiklasan biarlah semuanya lenyap baik dompet maupun mimpi indah lenyap tanpa bekas tapi aku tak apa, lain kali aku akan posting tentang mini bus travel ini ke grup facebook busam biar teman-teman tahu gimana asyiknya menumpangi travel ini.

Setelah nyawa terkumpul dari tidur seketika ku teringat ternyata aku baru sadar jika dompetku tertinggal di kamar kos, sejenak aku berfikir setelah turun dari travel ini lalu barang apa yang bisa aku gadaikan untuk dapat naik ojek hingga sampai ke rumah yang sudah satu semester ini tidak ku injak lantainya, aduh betapa rindunya masakan ibu. 

The End