Berdesir dalam hati entah kenapa ini
menjadi lelucon yang sangat menjengkelkan, Angga menyentak keras orang gila
yang merancu tak jelas di sudut jalan, rancuannya aku yakin sangat mengganggu
masyarakat pada malam ini. Namun karena malam telah sangat larut tak seorang
pun peduli akan rancuannya.
Narkoba
kamu, Seksual, Bekasi….!!!!
Gerutuan
orang gila itu sembari teriak yang membuat pendengaran Angga semakin memanas,
seakan ingin menghempaskan kakinya ke mulut orang gila itu.
Udah kawan dia orang sakit tidak usah di
tanggapi...
Angga
tetap pergi menghampiri orang gila itu sembari mengupat dan berkata “Heh diam
kamu, sudah malam su….!!!!
Tanpa diduga orang gila ini semakin
menjadi dan mengeluarkan badik dari celah celana yang diselipkan di
pinggangnya.
“Diam
kamu,, kamu orang mana di sini wilayahku bukan rumahmu tak ada yang boleh
menguasai wilayahku. Narkoba kamu, seksual, bekasi. Anak kapolda tak ada yang
bisa menyuruh-nyuruh aku” sembari
mengacung-acungkan badiknya rancuan orang gila itu semakin nyaring dan
membangunkan pak kades.
Dengan kasar kutarik Angga sebelum badik
itu benar-benar mengoyak perutnya, sudah kawan tak perlu ditanggapai semua
hanya ilusi. Seketika itu juga pak kades membawa orang gila itu ke pelataran makam yang cukup gelap demi
kenyamanan desa yang sunyi ini.
“Purwajaya,
purwajaya, purwajaya tanah Ku, Cuma punyaku bukan punyamu. brengsek narkoba,
seksual, bekasi…!!!” makin menggerutu
orang gila ini dari kejauhan.
Angga semakin meronta… “Lepaskan aku orang macam dia
tak akan pernah jera sebelum dapat pelajaran", gumam Angga denagan penuh emosi.
Aku
tetap menarik Angga pergi tanpa memperdulikan raungannya yang juga semakin menjadi
seperti orang gila itu.
“Kapolda mana kamu… Hahaha… kapolda hanya ada
di sana tidak akan pernah ada di sini, hukumannmu berat menjual nama kapolda
dihadapanku”, teriak orang gila ini yang semakin tak jelas.
Lantang ku balas teriakannya, “Heh kamu, tak ada
yang sanggup menjual bahkan membeli nama kapolda bahkan otakmu yang sudah tak
berotak itupun tak akan pernah ada harganya di mata hukum”,
Ku dadakan tanganku sebagai ucapan perpisahan
kepada orang gila itu yang semakin nyaring nyanyiannya… pak kades hanya bisa
menggelengkan kepalanya dan berlahan menghilang dalam kegelapan malam.
“Lalalalala…hahaha…!!! Heh..!!! kalian
pecundang” sembari mengangkat congkak
genggaman tangannya yang berisi Satyalancana
Karya Satya yang mengagetkan Angga”.
Aku kembali tersenyum dan menepuk bahu Angga sembari berkata
“Engkasi baru”..!!!
“Aga” ??? jawab Angga.
“Ojo Dumeh”,
Semua orang juga punya, kita hanyalah anak
seberang desa yang suatu saat juga akan terhanyut tenangnya arus sungai mahakam
yang mulai megeruh ini. Angga yang terkejut itupun mulai termenung dalam hening
dan mulai layu berjalan bersamaku untuk mencari sesuatu yang hilang dalam jiwa ini.
Seakan
hentakan langkah kaki dengan cepat mendekati kami berdua yang membuat
anjing-anjing mulai menggonggong seperti
pesta kenaikan pangkat, seketika kabut pekat menyelimuti kami dalam kegelapan
malam yang mulai membekukan kami.
“Aaarrggggg….!!!”
Angga berteriak seperti orang kesurupan dalam
kabut ini, aku bahkan kehilangan dia dari pandanganku. “Angga… Angga….Angga kamu di mana…!!!!” beberapa detik kemudian semilir angin malam
pun berhembus mengusir pergi kabut ini. Tanpa pernah kuduga aku melihat Angga
beberapa langkah di belakangku tergeletak bersimbah darah dengan luka mengangga
tepat di jantungnya bekas koyakan senjata tajam.
Gerutu dan nyanyian itu kembali terdengar
membuat bulu-bulu halus di leherku berdesir kaku, dengan pandangan tajam
seseorang menatapku dari kejauhan, ternyata orang gila itu. Ia kembali berada
di pojok jalan sembari tersenyum dan menjilati badiknya yang masih bercucuran
darah.
The end