Keterasingan mulai kembali kurasakan setelah sesaat hengkang dari ruang
peradapan yang penuh kegengsian. Kampus, semua hampir mampus karena ketegangan
di sana. Eliminasi keras yang membuat kawan-kawan berlahan mulai lenyap dan
entah terkubur di mana. Aku mulai melihat raut kegelisahan dari diriku yang
mungking tak pernah sedikitpun ku tampakkan selama hidupku.
Aku mulai menyusuri keberadaanmu,
namun sekali lenyap tetaplah lenyap, pastikan dirimu berarti meski hampir mati
kawan. Aku tak menyadari apa yang berbeda dari diriku setelah embel-embel baru di
belakang namaku telah kudapatkan dari ruangan sempit penuh debu di ubin yang
berlapis ambal bau. Kau pikir aku telah mendapatkan apa yang ingin ku gapai. Salah,
sekali lagi salah. Tanggung jawab semakin besar mulai menggumuliku dan tak
segan mencengkramku tanpa rela memberikan kesempatan.
Sesak rasanya, namun nikmat untuk
kembali ku ceritakan kepadamu yang masih tersisa di sana. Berlahan mulai ku
aduk-aduk otakmu agar kau sadar ada punggung lelah meronta yang berharap kau
segera mentas dari dalam kubangan buku-buku yang tak memberikanmu sedikitpun
keahlian untuk berperang melawan dirimu sendiri. Ayahmu terus bekerja dengan
keterpaksaan tentang tanggang jawab yang dibebenkan olehmu. Kau pikir kau
teraniaya, kau lupa kawan kau salah satu makhluk beruntung yang tidak dimakan
jawaban TIDAK untuk ke jenjang
perguruan tinggi.
Aku tau kau putus asa, kau lelah, kau dalam kondisi tanpa figur yang dapat
membantumu untuk keluar dari kubangan itu, tapi itulah seni dari kejamnya
peradapan yang dibangun oleh manusia. Semua akan ringan jika kau terus berharap
pada sang Maha Tinggi. Hal itu karena sang maha guru akan tetap memerlukan Sang
Maha Tinggi. Lawan arus keterpaksaan, lawan arus kemalasan, lawan arus menganggap
diri sendiri lemah. Aku tau kau Sang Kuat kawan. Lawan dan maju. Selesaikan secepatnya,
untuk menjadi bagian dari tulang punggung yang telah lama menopang pilar
keluarga agar tetap tegak berdiri.
Dasar
Kau Pemalas...!!!