Pemuda tak akan pernah bisa takluk meski banyak aturan yang terus
membekuk, jiwa keingintahuan tak akan pernah padam didorong oleh rasa penasarannya,
tak bisa disalahkan bila potensi pelanggaran itu terjadi karena jiwa
pemborontakan itu selalu ada dalam benak setiap pemuda. Seperti halnya yang
diungkapkan Niccolo Machiavelli dalam bukunya The Prince bahwa demi suatu keberhasilan seorang pangeran harus
mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatu atas
kekuatan dan kelicikan. Sering kali dikatakan bahwa Machievelli percaya bahwa
ada perbedaan antara moralitas untuk kehidupan pribadi dengan moralitas untuk
bernegara, Hal itulah yang terlihat pada kondisi saat ini, pemuda itu laksana
pangeran dan akan melakukan apa saja yang ia kehendaki tanpa mempertimbangkan
baik dan buruknya tindakan karena memandang moralitas pribadi dan moralitas
bermasyarakat itu terpisah “yang penting
gue gak ganggu loe” ungkapan itu yang sering digunakan sebagai dalih
pembelaan diri, karena yang terpenting
adalah kekuasaan untuk mencapai tujuannya.
Sebab itulah generasi pemuda saat
ini dianggap bermasalah, namun seharusnya perlu kajian lebih lanjut kenapa
semua ini bisa terjadi, apakah semata-mata pemuda menjadi dualisme moral karena
kehendaknya sendiri atau ada faktor lain pembentuknya yang harus diatasi
bersama. Tanpa mempersoalkan siapa, seharusnya kita bisa mencari sebab itu
kenapa. Mungkin salah satu yang mempengaruhinya adalah historis peradaban
bangsa ini, Nusantara dulunya adalah bangsa bekas kolonialisasi yang pernah
dijajah selama 350 tahun ditambah 3 tahun konon kabarnya, hal itu selalu
ditegaskan dalam buku Ilmu pengetahuan Sosial, baik tingkat Sekolah Dasar
maupun Sekolah menengah. Apakah mungkin saja usia setingkat SD dan SMP itu
masih terlalu belia untuk memahami cerita sejarah bahwa bangsa ini dulunya
pernah menjadi bangsa pembangkang Hindia Belanda dan Jepang, hingga disalah
terimakan sampai ia dewasa dan menjadi pemuda seperti sekarang.
Vrij
man merupakan bahasa
belanda yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia yaitu orang bebas, dan kata ini sekarang telah diserap kedalam bahasa Indonesia
menjadi preman yang memiliki arti sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok,
pemeras, dsb), kenapa
ini bisa terjadi, mungkin hal ini juga bisa saja sebagai faktor kenapa pemuda
saat ini disebut pembangkang karena pemuda yang sejatinya penggerak dan penerus
peradaban untuk terbebas dari penjajahan hingga meraih kemerdekaan namun gelar orang bebas yang memerdekakan dicabut
begitu saja dan justru diartikan sebaliknya sehingga berkonotasi negatif
seperti sekarang, padahal sejarah Vrij
man itu tak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan. Siapa pelakunya?
tetapi ini bukan soal siapa namun mengapa terjadi demikian, bukankah Vrij man juga merupakan bagian dari
pemuda?
Seakan
sebelum para penjajah itu masuk, Nusantara ini belum memiliki peradaban sehingga
yang terdapat pada buku sejarah tingkat dasar hanya dongeng-dongeng sejarah
kebodohan orang terdahulu, padahal jauh sebelum itu nusantara telah memiliki
peradapan yang murni dari tangan-tangan orang pribumi yang tak kalah
dibandingkan hasil adopsi dari peninggalan para penjajah saat ini yang perlu
diperkenalkan dan dipahami oleh pemuda-pemuda saat ini baik secara formal
maupun non-formal.
Tak heran bila pemuda saat ini
dikatakan sangat bringas serta lebih diktator dibandingkan Adolf Hitler dan Joseph
Stalin karena dua tokoh kejam dunia itu mempertahankan kekuasaannya demi
bangsanya, sedangkan pemuda saat ini yang terlalu sering dicekokin sejarah
kekejaman penjajah di bangku sekolah melakukan kekejaman untuk menghancurkan
bangsanya demi memuaskan hasrat birahinya semata “yang penting gue gak ganggu loe” lagi-lagi kalimat itu yang
terdengar.
Pemisahan moral ataupun dualisme
moral itu membuat sebagaian besar pemuda menganggap Tuhan terpisah dengan
kehidupan yang realistis ini, lagi-lagi dogma penjajah berhasil meracuni paham
generasi muda Nusantara, jika pemuda adalah luka bagi negeri ini ? lalu
dimanakah cinta? Sekarang kami telah buta.